bukan hanya menyangkut urusan pribadi tapi juga publik secara keseluruhan.
Inilah realita yang mengimpit umat Muslim di Amerika. Mereka harus menanggung beban sebagai kelompok masyarakat yang terus ditatap dengan penuh kecurigaan. Sehingga begitu ada pemicu, langsung berubah menjadi aksi teror yang nyata. Hal ini tentu saja terjadi karena ketidakpahaman mayoritas masyarakat non Muslim AS mengenai Islam. Dan itu terjadi karena mereka amat minim menerima informasi tentang Islam. Kalaupun ada, informasi yang diterima banyak tidak benarnya. Misalnya saja, siswa-siswa SMA di Amerika diharuskan membaca buku wajib yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang Islam yang ngawur dan berbahaya, seperti di bawah ini:
"Islam didirikan oleh seorang pedagang kaya berkebangsaan Arab benama Muhammad. Dia mengaku dirinya seorang nabi, dan diikuti oleh orang-orang Arab lainnya. Kepada para pengikutnya, Muhammad menjelaskan bahwa mereka telah dipilih (oleh Tuhan) untuk memimpin dunia."
Selain itu, mereka cenderung memandang Islam secara monolitik dan mengabaikan perbedaan aliran yang ada dalam Islam. Bagi mereka, Islam yang dianut oleh raja-raja di negara Arab dan Ayatollah di Iran itu tidak ada bedanya, karena sama-sama menghadap Mekah ketika shalat dan keduanya menganut paham teokrasi dan negara-negara kaya minyak. Dan bagi mereka, Islam merupakan ancaman global yang potensial, sama halnya dengan komunis di era Perang Dingin.
Bagi warga Muslim Amerika yang telah berulang kali mengalami pengalaman pahit, peristiwa 11 September 2001 kemudian menjadi media klarifikasi diri bahwa Amerika adalah rumah mereka dan tempat bernaung kepentingan mereka. Peristiwa tersebut juga menyadarkan kembali rasa tanggung jawab kaum Muslim moderat untuk melawan secara aktif para ekstremis walau hanya dalam bentuk retorika. Upaya lain yang harus dilakukan adalah membedakan pemahaman yang lebih baik kepada warga non Muslim AS mengenai Islam yang tidak mereka pahami. Selain itu, beberapa pemimpin Muslim juga berupaya untuk memberi pemahaman kepada komunitas Muslim yang selama ini terisolasi, mengenai hak dan kewajiban masyarakat sipil di AS dan untuk bersentuhan dengan kehidupan sosial di AS.
Sebenarnya, upaya untuk dapat bersentuhan dengan kehidupan bernegara di AS, terutama dalam kehidupan politik telah dilakukan oleh beberapa organisasi Islam diantaranya the Coordinating Council of the four Muslim-American political organizations : CAIR, the American Muslim Alliance (AMA), theAmerican Muslim Council (AMC), dan the Muslim Political Action Committee (MPAC). Pada Februari 1996 —atas upaya lobi organisasi Islam - untuk pertama kalinya dal am sejarah AS, Ibu Negara Amerika Hillary Rodham Clinton mengadakan jamuan makan malam untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di White House. Bagi masyarakat Muslim AS, peristiwa tersebut merupakan sebuah kemenangan publik yang signifikan.
Masyarakat Muslim AS juga berupaya memberikan kontribusi dalam pemilihan umum di AS. Misalnya saja, ketika warga Muslim/Arab Amerika memberikan bantuan dana kampanye bagi kandidat—kandidat politik seperti Wilson Grade (pemilihan walikota, 1983), Robert Neall (pemilihan anggota Kongres, 1986), Joseph Kennedy (pemilihan anggota Kongres, 1986), Walter Mondale (pemi lihan presiden, 1984), dan Hillary Clinton (pemilihan anggota Kongres, 1998).
Pada pemilihan presiden tahun 2000, sekitar 70% hingga 90% masyarakat Muslim memberikan hak votingnya kepada George W. Bush. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu AS, masyarakat Muslim menggunakan hak votingnya dalam jumlah besar, yakni sekitar 34% dari total voting di AS. Masyarakat Muslim berhasil menciptakan blok slam bagi kemenangan Bush. Walaupun terdapat pengakuan simbolik dari Presiden Bush dan pejabat pemerintahan lainnya kepada komunitas Muslim, tetapi bukan berarti masyarakat Muslim AS telah diakui secara utuh. Tantangan terbesar yang masih dan akan terus dihadapi masyarakat Muslim AS adalah menjadi bagian dari institusi mainstream Amerika. Mayoritas masyarakat Muslim Amerika masih berada di luar mainstream politik AS. Seperti yang diungkapkan olch tokoh Muslim AS, Salam Al-Marayati : "We're not at the table yet. We still have to earn our right to sit at the table.'
Sumber
Jurnal Penelitian Politik
4/14/2014
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar