2/13/2013

AIDS di Indonesia: Pelacurkah yang Salah?

Memang benar, penyebaran HIV & AIDS adalah salah satu dampak dari dunia pelacuran dan perzinaan yang merajalela. Di bagian timur Indonesia, Papua misalnya, para perempuan sundal dan wanita lipstik3 yang dibawa dari Jayapura ke Wamena diyakini masyarakat di sana sebagai agen-agen penyebar virus yang paling dominan4. Kenyataannya, Papua adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan tingkat kerawanan AIDS terbesar selain Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Kepulaun Riau, dan Bali (UNGASS-KPA, 2008).

Berbeda dengan mayoritas masyarakat Eropa ataupun Amerika yang menuduh kalangan homoseksual sebagai biang keladi AIDS, di Indonesia, sejak tahun 90-an, AIDS lebih diyakini masyarakat sebagai penyakit bawaan para sundal dan pelacur, setelah sebelumnya "rumors yang tersebar di masyarakat Indonesia mengatakan AIDS adalah penyakit impor, bawaan orang kulit putih (bule)6. Anda mungkin ter-kaget bahwa pada 1996, jumlah PSK di Surabaya, satu kota saja, diperkirakan sudah mencapai 15.000 hingga 20.000 orang (Blowfield 1992).

Perkembangan AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa penularan juga terjadi di luar area pelacuran, yang masih relatif kurang dibicarakan. Politik penuduhan selalu terjadi di tengah masyarakat dan terus direproduksi, dengan tendensi untuk menyalahkan dan menuduh kalangan PSK dan waria sebagai biang keladi dari semua kegelisahan AIDS. Pertanyaannya adalah, apakah sudah bijak jika kita begitu saja menuding kalangan PSK ataupun waria sebagai biang keladi dari krisis ini?

Menurut saya, mengatakan bahwa merekalah sebenarnya aktoraktor di balik krisis AIDS adalah satu bentuk kecerobohan. Sebab, mengapa kita tidak pernah mempertanyakan pria-pria hidung belang yang membeli jasa para wanita itu? Bisa jadi, pria-pria itu adalah para suami, orangtua, paman, saudara, atau tetangga kita yang tampak saleh. Kita pun tidak tahu!
Lebih jauh, mengapa kita hanya menuduh para PSK itu tanpa pernah menyadari bahwa di sebagian daerah, lokalisasi, dan prostitusi juga dipelihara sebagai industri pemasok upeti. Bagaimana keterlibatan negara dan kebijakan daerah dalam hal ini? Sebuah kontradiksi yang sangat jelas, karena di satu sisi pemerintah Indonesia melarang pelacuran (ilegal), tetapi di sisi yang lain, dunia pelacuran juga ternyata dipelihara oleh negara. Dalam kajian antropologisnya di Papua, Leis- lie Butt menemukan bahwa pemerintah Indonesia memiliki kebijakan untuk selalu mengontrol kesehatan para PSK itu dengan memberikan layanan kesehatan secara gratis, padahal pemerintah juga menyatakan bahwa pelacuran adalah ilegal, tidak bermoral, dan patut ditiadakan. lronisnya lagi, akses kesehatan yang gratis bagi pelacur ini hanya bisa dinikmati oleh PSK "pendatang", sedangkan PSK lokal Papua tetap harus membayar (Butt, 2005).

Ada benarnya jika dikatakan HIV & AIDS sangat terkait dengan moralitas seseorang. Tetapi, seperti kasus pelacuran di Papua itu, bukankah moralitas individu itu juga terlahir dari struktur social tertentu dan bahwa perilaku individu kita tidak pernah terbentukdalam ruang kosong (vacuum). Jika demikian adanya, lagi-lagi pertanyaannya adalah patutkah kita menyalahkan mereka? Pernahkah kita sesekali peduli terhadap kaum marginal yang kita sebut sebagai sundal, pelacur, WTS, atau PSK itu; tentang impitan ekonomi yang mereka alami, sehingga mereka harus rela tersenyum di balik sembilu luka dan kepedihan? Mungkin, mereka miskin seperti itu karena "ada yang mencuri haknya", yang mengubah harga diri mereka sebagai "manusia" menjadi komoditi, dan "memaksa" mereka menjadi pelacur.
Menurut data dari Target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals; MDGs), pada 2006, 17,75% dari populasi penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini meningkat dari angka sebelumnya 15,97% pada 2005. Bagaimana dengan laporan tahun 2007, 2008, 2009, dan seterusnya? (UNGASS-KPA, 2008).

Kita mungkin bisa berkata bahwa masih banyak pekerjaan halal dan lebih terhormat daripada menjadi pelacur. Namun, rendahnya taraf pendidikan dan impitan ekonomi yang dihadapi para wanita itu sama sekali tidak pernah menjadi pertimbangan kita. Apa yang menjadi landasan kita untuk membayangkan bahwa para wanita penjaja seks itu bisa lebih kreatif memilih pekerjaan lain? Bagaimana jika yang sebenarnya terjadi adalah bahwa wanita-wanita itu sama sekali tak berdaya, pendidikan yang mereka miliki tidak memberi mereka wawasan yang cukup, sehingga mereka tidak mampu berpikir tentang alternatif lain selain tubuh dan layanan berahi yang bisa mereka tawarkan dengan harga murah! Sedikit naif, karena kita hanya terbiasa menilai dan mengukur orang lain dengan kapasitas kita.

Menilai dan menghakimi dari satu sudut pandang raja hanya akan mengaburkan kita tentang siapakah sebenarnya biang keladi dan siapakah yang menjadi korban dari kemunculan penyakit AIDS ini. Sesekali kita perlu berempati dan bertanya dalam hati bahwa bukankah para PSK yang terinfeksi penyakit mematikan ini juga sebenarnya tidak pernah mau jika hidupnya berisiko seperti itu?

Pustaka
Aids Dalam Islam Oleh Ahmad Shams Madyan

Tidak ada komentar :

Posting Komentar