Kenakalan atau penyimpangan sosial remaja, yang terlihat dengan bertumbuhnya geng, ditransmisikan dan dipelajari dari kelompok yang satu kepada kelompok yang lain. Terlebih lagi remaja sangat rentan untuk melakukan tindakan-tindakan peniruan, apalagi terhadap perilaku yang dianggap sebagai mode (fashion) yang menimbulkan heroisme dan rasa bangga.
Agenda yang mendesak untuk dikemukakan adalah bagaimana melakukan pengendalian atau kontrol atas merebaknya geng motor itu? Dalam literatur sosiologi (Paul B Horton dan Chester L Hunt, 1964: 14o-146, dan Alex Thio, 1989: 176-182), ada tiga cara yang dapat dikerahkan untuk mengatasi deviasi sosial. Yaitu, pertama, internalisasi atau penanaman nilai-nilai sosial melalui kelompok informal atau formal. Lembaga-lembaga sosial, seperti keluarga dan sekolah, adalah kekuatan yang dapat membatasi meluasnya geng motor. Mekanisme pengendalian itu lazim disebut sebagai sosialisasi. Dalam proses sosialisasi itu, setiap unit keluarga dan sekolah memiliki tanggung jawab membentuk, menanamkan, dan mengorientasikan harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, serta tradisi-tradisi yang berisi norma-norma sosial kepada remaja. Bahkan, hal yang harus ditegaskan adalah sosialisasi yang bersifat informal dalam lingkup keluarga jauh lebih efektif. Sebab, dalam domain sosial terkecil itu terdapat jalinan yang akrab antara orang tua dengan remaja.
Kedua, penerapan hukum pidana yang dilakukan secara formal oleh pihak negara. Dalam kaitan itu, aparat penegak hukum, seperti kepolisian, pengadilan, dan lembaga pemenjaraan, digunakan untuk mengatasi geng motor. Keuntungannya adalah penangkapan dan pemberian hukuman kepada anggota-anggota geng motor yang melakukan tindakan kriminal mampu memberikan efek jera bagi anggota-anggota atau remaja lain. Kerugiannya, aplikasi hukum pidana membatasi kebebasan pihak lain yang tidak berbuat serupa. Bukankah dalam masyarakat ada kelompok-kelompok pengendara sepeda motor yang memiliki tujuan-tujuan baik, misalnya untuk menyalurkan hobi automotif?
Ketiga, dekriminalisasi yang berarti bahwa eksistensi geng-geng motor justru diakui secara hukum oleh negara. Tentu saja, dekriminalisasi bukan bermaksud untuk melegalisasi kejahatan, kekerasan, dan berbagai pelanggaran norma-norma sosial yang dilakukan remaja. Dekriminalisasi memiliki pengertian sebagai "kejahatan yang tidak memiliki korban". Prosedur yang dapat ditempuh adalah pihak pemerintah dan masyarakat membuka berbagai jenis ruang publik yang dapat digunakan kaum remaja untuk mengekspresikan keinginannya, terutama dalam menggunakan kendaraan bermotor. Lapangan terbuka atau arena balap bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik. Kehadiran geng motor merupakan fenomena sosial yang harus direspons secara proporsional. Menanggapi kemunculan mereka dengan lagak sok moralistis atau menunjukkan sikap sebagai aparat negara dan orang tua yang sedemikian histeris, justru dengan mudah memancing kaum remaja menjadi semakin sinis.
Sumber Artikel
Genk Remaja oleh Sidik Jatmika, Dwiko
2/15/2014
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar