9/28/2013

Peran Apoteker

Pada awalnya apoteker hanya berfungsi sebagai penjual obat dan konselor dalam penggunaan suatu obat tertentu. Para apoteker diharapkan dapat memberikan pelayanan seperti memonitor interaksi obat, menjelaskan dosis obat (dosage), dan berfungsi sebagai sumber informasi obat [Hirsch et al., 1990] Pada awal 1970-an, apoteker berhak untuk mengganti suatu produk bermerek (brand name drugs) dengan obat generik untuk konsumen yang tidak mampu secara finansial [Salehi dan Schweitzer, 1985]. Lagipula, apoteker dapat membantu konsumen dalam mengurangi permintaan dan penggunaan obat yang mahal dengan cara memberi pelayanan seperti konseling, pendidikan, dan promosi kesehatan [Talley, 1994]. pengurangan masalah yang timbul dalam peresepan obat melalui konseling sangatlah penting karena 70% penyakit pada sistem pelayanan kesehatan dapat dicegah. Selain itu, pola hidup yang kurang baik atau sehat dapat mempengaruhi biaya pengobatan. Intervensi seperti pemberian informasi dan petunjuk diperlukan untuk mengurangi masalah medis.

Para apoteker modern mengalami peningkatan tekanan finansial. Proporsi pasar farmasi yang berada di tangan apotek eceran turun dari 80% pada tahun 1985 menjadi 65% pada tahun 1988 [Garrett, 1989].

Tekanan pertama datang dari persaingan sistem pengiriman obat (mail order pharmacies) yang melayani 6% dari pasar obat resep bagi pasien yang menginap di luar rumah sakit (outpatient). Tekanan kedua disebabkan oleh organisasi Pharmacy Benefit Management (PBM) [Singletary, 1993]. Para penjual obat pada tingkat eceran khawatir terhadap penyesuaian harga yang berkaitan dengan diskon atau potongan harga obat yang dilakukan oleh pedagang grosir.

Menurut survei yang dilaksanakan oleh Indonesian Consumers Foundation (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia=YLKI) pada bulan Mei 2006, sebagian besar staf apotek di daerah Jakarta tidak tahu banyak tentang obat-obatan resep dan tidak tersedia untuk konsultasi profesional. Survei dibuat di 33 apotek di Jakarta selama bulan Agustus 2005. Sering sekali, seorang ahli farmasi yang berkompetensi tidak hadir pada lokasi bisnis dan sering membolehkan staf yang kurang berpengalaman bekerja di toko obat ini. Dari 32 apotek yang diperiksa oleh YLKI, hanya 11 apoteker hadir pada saat kunjungan para peneliti. Dari seluruh peserta yang hadir, hanya 7 dapat menjelasakan secara baik kepada para pasien tentang obat-obatan yang diresepkan dokter. Informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan keamanan pengobatan, keefektifan pengobatan, efek samping pengobatan, serta harga-harganya. Secara teoretis, apoteker dapat menjadi sumber yang membantu kepada para konsumen khususnya dalam memenuhi jurang informasi kalau seorang dokter kurang mampu berkomunikasi atau menulis terlalu banyak resep untuk obat-obatan yang sebenarnya tidal( dibutuhkan oleh pasien. Oleh sebab itu, kalau seorang apoteker tidak hadir pada saat kunjungan pasien ke apotek, pasien yang bersangkutan akan dirugikan [The Jakarta Post, 24 May 2006]

Sering pasien minta diberi suatu obat generik yang lebih murah, tetapi staf mengatakan bahwa obat generik tersebut tidak tersedia. Sebagai pengganti, staf menawarkan obat bermerek yang lebih mahal.

Pelayanan yang lebih baik dari suatu apotek dapat membantu konsumen menjadi lebih bebas (independent) dalam mencari pengobatan, khususnya kalau penyakit ringan saja. Apoteker harus mengingatkan dokter supaya tidak menulis terlalu banyak resep. Menurut Indonesian Pharmacists Association (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia=ISFI) hasil survei ini sangat mengecewakan. Hal ini terjadi karena tanpa diminta oleh konsumen, apoteker seharusnya memberi informasi kepada pasien. Yang paling jelek adalah fakta bahwa apoteker jarang pergi ke apoteknya bahkan setahun sekali. ISFI berencana menaikkan tingkat profesionalisme dari anggotanya melalui kerja sama dengan administrasi lokal yang harus memonitornya [The Jakarta Post, 24 May 2006].

Pemerintah Indonesia pada bulan Agustus 2007 memulai program baru yang dinamakan Apotek Rakyat (People's Pharmacy). Program ini berusaha untuk menyediakan obat-obatan yang dapat dibeli oleh rakyat serta mendorong para apoteker untuk menyebarluaskan informasi yang cocok kepada masyarakat. Menurut Indonesian Pharmacist Association (ISFI) pemerintah berkomitmen untuk menyediakan akses yang lebih mudah bagi rakyat untuk pengobatan dengan harga yang terjangkau dan meyakinkan keamanan dengan memprioritaskan pembelian obat-obatan generik yang murah di Apotek Rakyat.

Program ini berdasarkan pandangan bahwa apotek adalah tempat untuk memberi pelayanan farmasi termasuk menjual pengobatan serta peralatan kesehatan. Apotek Rakyat hanya dapat menjual obat bebas terbungkus (prepacked over the counter drugs) dan obat resep. Apotek Rakyat tidak boleh menjual narkoba (narcotics), psychotropics dan zat yang menyebabkan ketagihan (additive substances) atau menjual obat dalam jumlah yang besar (grosir). Maka mudah sekali mendirikan suatu Apotek Rakyat karena tempat yang diperlukan kecil dan hanya dibutuhkan lemari untuk obat serta lokasi yang bersih [Jakarta Post, 6 August 2007].

Program ini adalah usaha oleh pemerintah untuk melindungi rakyat dari obat-obatan yang sudah lewat masa berlakunya (expiration date), obat-obatan palsu, serta obat yang disediakan oleh penjual grosir yang ilegal. Apotek tanpa izin dapat menjadi Apotek Rakyat kalau ada seorang apoteker profesional. Prioritas lain dari pemerintah adalah mendukung semangat kewirausahaan bagi apoteker supaya mereka lebih bebas dalam melaksanakan praktek profesinya. Ada perubahan dalam bidang apotek yang dinamakan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di mana apoteker tidak hanya menjual obat, tetapi juga mengembangkan sikap yang lebih berorientasi pada pelayanan konsumen yang pasien serta memberi informasi yang dibutuhkan tentang obat-obatan. Prinsip ini dapat diberi istilah: "kalau tidak ada apoteker, tidak ada pelayanan" (no pharmacist, no service) [The Jakarta Post, 6 August 2007].

Pustaka
Ekonomi Farmasi Oleh James J. Spillane, S.J.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar