6/30/2013

Ekselensi sebagai pembelajar

Ekselensi Pembelajar


Mengajak orang lain berubah sangatlah berbeda dengan mengajak diri sendiri berubah. Mengubah diri adalah pelajaran paling berat yang harus dihadapi guru masa kini. Mungkin lebih mudah mengubah siswa yang kemampuannya pas-pasan menjadi lebih cerdas dan kompeten, mengubah mereka yang malas belajar menjadi lebih giat. Untuk mengubah orang lain, cukuplah kalau kita memiliki daya persuasif yang membuat orang lain percaya dan berubah. Sebaliknya, mengubah diri membutuhkan keberanian, jiwa besar, dan kesabaran. Kadang kala butuh pengorbanan, ketekunan, dan latihan-latihan yang seringkali tidak mudah. Mungkin para guru bisa meyakinkan orang lain dan karena itu bisa membuat banyak orang berubah. Namun, apakah ia juga bisa meyakinkan diri sendiri sehingga ia sendiri pun bisa berubah?

? Melihatnya saja para guru bisa langsung pusing. Ia tidak tahu lagi dari mana mesti memulai.

Belajar memang sebuah wujud gerak keluar, sebab kita memberi perhatian pada apa yang di luar diri kita. Hidup di masa di mana orang lebih suka mementingkan diri sendiri, keluar dari diri sendiri merupakan sebuah perjuangan yang tidak ringan. Kita merasa seperti ada yang hilang. Itulah yang terjadi pada saat kita memulai sesuatu yang baru. Padahal, memecahkan halangan ini akan membuat kita pelan-pelan mulai bergerak maju. Gerak maju menjadi sebuah keengganan sebab kegamangan senantiasa menghadang. Apalagi jika yang di depan itu belum dapat kita lihat dan yakini efektivitasnya. Daripada melakukan sesuatu yan tidak jelas, bukankah lebih baik berpegang pada apa yang ada dahulu? Inilah akar persoalan konservatisme yang sering dialami guru. Akhirnya guru terjebak pada dua sindrom, yaitu konservatisme dan presentisme. Guru merasa lebih baik ikut arus dalam sindrom kekinian saja sebab ia menemukan ketenangan dan rasa aman meski sesungguhnya pelan-pelan ia mengingkari hakikatnya sebagai guru, yaitu, seorang yang senantiasa belajar dan mau maju.

Selain itu, sebagai pembelajar yang ekselen, guru semestinya memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan kemampuan akademis siswa. Perkembangan intelektual siswa menjadi orientasi bagi pengembangan diri.

Melakukan pembaruan diri terus-menerus agar semakin efektif mengajar dan menemukan cara-cara baru mengajar, berani merefleksikan dan mengevaluasi terus-menerus cara guru mengorganisir kelas, dan membangun tatanan baru dalam kelas yang mendukung proses pembelajaran merupakan tanda kehadiran guru sebagai pembelajar. Sikap dasar untuk senantiasa menjadi pembelajar yang ekselen adalah selaras dengan salah satu tujuan pendidikan, yaitu peningkatan kemampuan akademis siswa. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik karakter tidak bisa mengukuhkan identitas dirinya jika cara dia mengajar, cara dia berelasi dengan siswa tidak menumbuhkan ekselensi belajar dalam diri siswa. Pengembangan kepribadian tidak dapat menjadi alasan untuk menurunkan kualitas mutu akademis. Antara pengembangan akademis dan pengembangan kepribadian siswa sesungguhnya dua hal yang sama-sama mesti diselaraskan. Yang satu tidak bisa mematikan yang lain.

Sering terdengar keluhan dari para guru bahwa materi pembelajaran sudah terlalu padat sehingga guru tidak dapat memberikan perhatian pada perkembangan afeksi dan kehidupan moral para siswa. Atau sebaliknya, ada ungkapan yang mengatakan, bahwa "sekolah kami mengutamakan pembentukan karakter, bukan sekadar mencetak anak pintar". Ujaran ini, di satu sisi memang tepat jika dipahami secara utuh. Ungkapan "bukan sekadar" tidak berarti bahwa sekolah bisa mengabaikan dimensi perkembangan akademis. Interpretasi ini layak diwaspadai karena ada sekolah yang mencoba memberikan perhatian lebih pada pengembangan dimensi humaniora siswa, namun ternyata tidak disertai keinginan untuk meningkatkan kemampuan akademis siswa. Atau malahan, pengembangan non-akademis menjadi alasan untuk bersembunyi di balik keteledoran guru dan sekolah dalam mengembangkan kemampuan akademis.

Guru sebagai pendidik karakter tetap memiliki tanggung jawab utama dalam mengembangkan diri siswa menjadi pembelajar yang utama. Untuk itu, guru mesti juga menunjukkan bahwa dirinya adalah pembelajar ekselen yang senantiasa ingin bertumbuh dan berkembang dalam proses pengajaran dan pembelajaran melalui mata pelajaran yang mereka ampu. Tanpa adanya ekselensi diri sebagai pembelajar, sulit bagi guru mengembangkan identitas dirinya sebagai pendidik karakter sebab keberhasilan pendidikan karakter memiliki korelasi erat dengan meningkatnya prestasi akademis siswa.

Pustaka Artikel Ekselensi diri sebagai pembelajar


Pendidik Karakter Oleh Doni Koesoema A.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar