Bentuk hukum suatu lembaga yang berusaha di bidang perbankan berdasarkan ketentuan terakhir, yakni pasal 21 Undang-Undang No 10 Tahun 1998, hanyalah terdiri dari:
a. Perseroan Terbatas,
b. Koperasi, dan
c. Perusahaan Daerah.
Sementara itu, untuk Bank Perkreditan Rakyat — kecuali bentuk-bentuk usaha di atas — diberikan ketentuan "bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan daerah" yang tidak jelas bentuknya, apalagi yang diakui oleh undang-undang yang berkaitan dengan bentuk hukum perusahaan yang berlaku di Indonesia; apakah kembali ke bentuk perusahaan dagang biasa (perseorangan), bentuk komanditer atau kembali lagi ke bentuk persero yang sudah dihindari oleh Undang-Undang No 10 Tahun 1998.
Adapun Persero dalam pasal 21 lama, yakni yang berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1992 masih ada, dalam undang-undang yang baru ternyata dihilangkan, padahal perkataan "Persero" ini kelanjutan dari ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No 9 Tahun 1969. Meskipun banyak dari Bank Milik Negara sekarang ini masih menyebutkan namanya sebagai PT Persero sebagai akibat dari perubahan yang baru saja terjadi sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 (dari yang semula bentuk hukumnya Perusahaan Negara yang masing-masing berdasarkan undang-undang khusus dan bilamana diubah lagi akan memerlukan dana dan proses yang panjang), tampaknya pembentuk undang-undang sekarang ini menganggap perkataan "Persero" tersebut sudah tidak ada artinya lagi.
Dari kenyataan di atas dapat diartikan bahwa secara hukum, sekarang ini sudah tidak ada perbedaan lagi antara perusahaan swasta berbentuk Perusahaan Terbatas (PT) dengan Perusahaan Negara berdasarkan PT Persero sehingga semuanya tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1995 tentang Perusahaan Terbatas. Namun, apakah persamaan ini benar-benar sama dengan Perusahaan Terbatas dalam usaha nonbank lainnya terutama dalam hal tanggung jawab pemegang saham dan hubungan hukum publik dan hukum perdata. Bagian lain dari tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai hal ini, karena ternyata ada sedikit penyimpangan prinsip tanggung jawab terbatas dari pemilik/pemegang saham bank dengan pemilik/pemegang saham nonbank.
Mengenai Perusahaan Daerah sebagai salah sate bentuk hukum Perusahaan yang diizinkan untuk berusaha di bidang perbankan, semula ketentuannya mengacu pada kewenangan daerah berdasarkan UndangUndang No 13 Tahun 1962, di mana Peraturan Daerah (Perda) yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memberikan wewenang pada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mendirikan Perusahaan Daerah yang berusaha di bidang perbankan. Ketentuan ini sekarang memperoleh nuansa yang baru, yakni dengan berlakunya Otonomi Daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan tentang Perimbangan Keuangan Daerah dalam Undang-Undang No 25 Tahun 1999. Dalam hal ini, pendirian bank daerah baik milik Pemda maupun Swasta Daerah sangat bermanfaat bagi daerah, karena selain memperlancar aktivitas keuangan daerah juga untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Usaha Pemda dalam mendirikan bank-bank daerah dan perusahaan-perusahaan daerah ini jauh lebih sehat daripada menggantungkan diri untuk memperoleh PAD dari pajak atau pungutan-pungutan daerah semata, yang terasa membebani rakyat dan sekarang ini justru sedang digalakkan Pemda. Prinsipnya adalah bahwa PAD berasal dari pajak daerah, maka terlebih dahulu harus ada Pendapatan Asli Rakyat Daerah (PARD) sebab bagaimana mungkin rakyat membayar pajak daerah kalau tidak ada pendapatan rakyat terlebih dahulu? Usaha Pemda untuk menggerakkan perekonomian daerah yang bukan hanya semata-mata menggantungkan din pada sumber kekayaan alam daerah adalah hal yang penting. Perekonomian daerah yang berasal dari kreativitas warga, menarik investor, dan mengembangkan industri teknologi tepat guna bukan hanya dapat dan menjadi hak daerah, tetapi berdasarkan pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No 22 Tahun 1999 justru menjadi kewajiban daerah.
Bentuk usaha yang lain adalah Koperasi yang mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang No 25 Tahun 1992. Bentuk ini mungkin lcbih dekat dengan nuansa kekeluargaan yang menjadi "idola" masyarakat kita. Akan tetapi, orang bisa tergoda untuk mempersamakannya dengan prinsip perusahaan terbatas dalam beberapa aspeknya, yakni mengenai usaha bersama dalam menghimpun dana bagi usaha lembaga dan kerja sama dengan banyak orang sebagai anggota atau sebagai pemegang saham.
Namun demikian, bentuk usaha ini memang mempunyai prinsip-prinsip seperti tertera dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 yang juga mengadopsi prinsip-prinsip Rochdale dan Reiffeisen yang diterima oleh sidang International Cooperative Alliance (ICA) di Paris tahun 1937 yang berbunyi sebagai berikut.
a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis (satu orang dan bukan satu saham karena tidak ada saham mempunyai hak satu suara).
c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota (hal ini agak sulit diukur).
d. Pemberian balas jasa terbatas terhadap modal. Besarnya iuran anggota ternyata bukan faktor penting dalam menentukan balas jasa terhadap dana yang disetorkan sehingga interest rate juga bukan pertimbangan dalam pembagian hasil usaha.
e. Kemandirian. Pengertian kemandirian yang dikehendaki pembuat undang-undang mungkin berkaitan dengan swadaya, swasembada, dan swakarsa yang kental dengan nuansa perekonomian negara berkembang meskipun bentuk usaha lainnya sebenarnya juga memakai prinsip ini.
Pengikutsertaan bentuk hukum usaha koperasi dalam undang-undang perbankan, secara konsep mungkin baik. Akan tetapi, sampai sekarang tidak banyak bank yang memakai bentuk usaha ini. Ini mudah dipahami karena usaha perbankan pada hakikatnya memerlukan modal yang sangat besar dan bersifat instan sehingga tidak mungkin bila hanya mengandalkan simpanan para anggotanya. Untuk Bank Perkreditan Rakyat mungkin masih dapat dilakukan dalam bentuk usaha koperasi.
Selain masalah permodalan, masalah tanggung jawab pengurus dan anggota koperasi juga akan terlalu berat bila tidak ada pembatasan atau limitasi yang jelas sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1995. Risiko usaha yang benar-benar merupakan risiko di luar kontrol para pengurus dan anggota koperasi dalam suatu transaksi bisnis yang normal seharusnya bukan menjadi tanggung jawab pribadi mereka. Bila usahanya terbatas pada koperasi simpan pinjam antaranggota dan bukan lembaga keuangan bank yang terbuka untuk umum, mungkin risiko ini masih bisa dipikul oleh pengurus dan pribadi-pribadi anggota koperasi yang bersangkutan. Dengan demikian, bentuk hukum koperasi dalam usaha bank ini masih sulit dilaksanakan oleh usaha perbankan di Indonesia.
Pustaka
Usaha perbankan dalam perspektif hukum Oleh Gunarto Suhardi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar