Upaya mewujudkan kemitrasejajaran antara pria dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara telah dilakukan lebih dari dua dekade atas pertimbangan bahwa perempuan memainkan peran penting dalam kehidupan berkeluarga dan memberikan sumbangan besar kepada kesejahteraan keluarga serta pembangunan masyarakat. Sampai saat ini upaya perwujudan tersebut belum secara signifikan menunjukkan hasil yang memadai karena terdapat ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Di sadari bahwa terlepas dari fitrah keperempuanan yang melekat pada dirinya, juga sebagai warga negara maupun sumber daya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam mengisi pembangunan bangsa di semua bidang.
Pandangan tradisional mengenai peranan perempuan dan pria menyebabkan pemisahan yang tajam antara peranan pria dan perempuan, dan yang menempatkan perempuan dalam kedudukan kurang menguntungkan dalam pengembangan dirinya sebagai pribadi dan anggota masyarakat.
Program peningkatan peran perempuan dalam pembangunan telah menjadi kesepakatan nasional sejak tahun 1978 dan secara berkelanjutan dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai perwujudan kehendak politik Bangsa Indonesia.
Pancasila, UUD 1945 dan GBHN secara normatif telah menempatkan perempuan dalam kedudukan yang sama dengan pria, baik dalam hak, kewajiban maupun kesempatan dalam pembangunan bangsa. Namun demikian, dukungan politis saja tidak cukup untuk mewujudkan kesetaraan yang lebih baik dan adil dalam segala aspek pembangunan.
Ketidaksetaraan antara pria dan perempuan antara lain telah memberikan penilaian sebagai salah satu kendala bagi pembangunan.
Pemerintah Indonesia telah mempunyai komitmen yang tinggi tentang perlunya mengintegrasikan permasalahan gender ke dalam segala aspek pembangunan dengan melibatkan instansi pemerintah dan organisasi masyarakat.
Inpres 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang ditindaklanjuti dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 50/1232/SJ tanggal 26 Juni 2000 yang mempertegas komitmen pengarusutamaan jender sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Kenyataan yang dihadapi oleh banyak perempuan dalam mengembangkan kapasitasnya baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun negara, antara lain ialah hambatan kultur, sosiologi dan formal yang sudah berlaku sejak "Lama" dan sampai sekarang masih terus berlangsung serta nampaknya seperti sangat sulit untuk dihilangkan.
Tradisi dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat pada beberapa suku di Indonesia secara nyata menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki. Dengan kata lain ada indikasi keadaan yang cukup berat yang harus diubah. Caranya antara lain dengan berbagai potensi yang ada pada dirinya dapat dimanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Kesetaraan dan keadilan gender belum sepenuhnya terwujudkan, karena masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang praktis. Nilai-nilai ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Keadaan ini ditandai dengan adanya pembekuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Kesemuannya ini berawal dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan perempuan tidak memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Disamping itu, ketidaktepatan pemahaman ajaran agama seringkali menyudutkan kedudukan dan peran perempuan didalam keluarga dan masyarakat.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dilandaskan pada pasal 27 UUD 1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan kedalam UU No. 7 tahun 1984 serta landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konfensi Dunia tentang perempuan ke empat di beijing tahun 1995. Namun hal tersebut belum menyetarakan kedudukan dan peranan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Dari aspek keterwakilan terutama dalam lembaga-lembaga legeslatif seperti DPR dan DPRD baik provinsi maupun Kabupaten/Kota, ternyata potensi kaum perempuan belum dapat terwakili secara setara, sehingga aspirasi kaum perempuan masih relatif kecil diperjuangkan pada lembaga-lembaga legislatif.
Konvensi Beijing 1995 dan Beijing Plus Five 2000, permasalahan-permasalahan kritis yang masih dihadapi oleh kaum perempuan secara universal adalah :
- Masih berlangsungnya dan meningkatnya beban kemiskinan pada perempuan;
- Ketimpangan dan ketidaksamaan gender terhadap kesempatan dalam pendidikan dan pelatihan;
- Ketimpangan gender pada pelayanan kesehatan yang tidak memadai; kekerasan terhadap perempuan;
- Dampak dari konflik bersenjata terhadap perempuan;
- Ketimpangan jender dari kebijakan ekonomi dalam kegiatan produktif dan akses atas sumber daya dan dana;
- Ketimpangan peran gender dalam pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan di semua tingkat kehidupan;
- Ketimpangan gender dan tidak memadainya mekanisme di dalam banyak hal dan di semua tingkatan untuk kemajuan perempuan;
- Kurangnya penghargaan dan tidak memadainya peningkatan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan;
- Pandangan Stereotip terhadap perempuan dan ketimpangan akses perempuan dan partisipasinya dalam semua sistem komunikasi, khususnya dalam media;
- Ketimpangan gender dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam dan penyelamatan lingkungan;
- Terus berlangsungnya diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dan anak.
Secara nasional di Indonesia, pergerakan kaum perempuan mulai diilhami oleh perjuangan R.A. Kartini yang ingin bebas dari belenggu budaya keraton, meskipun tidak secara diam-diam dan tidak terbuka. Gagasan itu dicerna oleh kaum perempuan yang aktif dalam gerakan Kebangkitan Nasional 1908. Gejolak rasa nasionalisme itu dibulatkan dalam bentuk Sumpah Pemuda tahun 1928 yang kemudian diperingati menjadi hari Ibu. Dalam perjuangan kemerdekaan peran perempuan sangat penting baik secara fisik maupun bertugas digaris belakang (penyediaan logistik, perawatan korban dan penghubung antar kelompok pejuang). Dan untuk menghimpun potensi kaum perempuan, maka pada tahun 1950 didirikannya Organisasi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) selain KOWANI dan BKOW, Organisasi soasial keagamaan seperti Muslimat (NU), Aisyiah (Muhamadiyah). Dengan dibentuk Komite wanita Nasional Indonesia maka wadah perjuangan kaum perempuan semakin dikongkritkan.
Suatu proses aktualisasi diri kaum perempuan dalam mengatasi kepincangan dan ketidakadilan perlakuan sebagai konstruksi sosial terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menempatkam perempuan dalam status, peranan, dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat.
Edward Wilson dari Harvard University (1975 :24) membagi perjuangan kaum perempuan secara sosiologis atas dua kelompok besar yakni Konsep Nurture (Konstruksi budaya dan Konsep Nature (alamiah).
Konsep Nature beranggapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah basil konstruksi sosisal budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat , berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial menetapkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar.
Konsep nature yang menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamianya. Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture diatas lalu beralih ke teori nature. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Berbagai upaya dalam memberdayakan perempuan maupun masyarakat pada era reformasi saat ini dilakukan melalui berbagai pendekatan yang melibatkan peran perempuan maupun masyarakat.
Ada dua makna dasar pemberdayaan perempuan dan masyarakat yaitu :
- Meningkatkan kemampuan perempuan dan masyarakat melalui intervensi berbagai program pembangunan, agar masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan (to give ability or enable)
- Meningkatkan kewenangan secara proposional kepada perempuan dan atau masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Dalam hal ini upaya memampukan dan memandirikan masyarakat (to give authority).
Selain itu terdapat tiga aspek pokok pemberdayaan perempuan/ masyarakat yaitu :
- Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki perempuan/masyarakat. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki perempuan/masyarakat melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana.
- Melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang.
Terkait dengan upaya peningkatan pemberdayaan perempuan/masyarakat, maka perlu dikembangkan akses yang dapat memberikan peluang bagi berperannya kaum perempuan yang meliputi akses terhadap sumber daya, akses terhadap teknologi, akses terhadap informasi pasar dan akses terhadap sumber pembiayaan.
Untuk memberdayakan perempuan terutama dalam menghadapi berbagai permasalahan, maka telah dicanangkan 3 program utama yang akan dikembangkan dalam upaya pengarusutamaan jender, yakni meliputi :
a. Program peningkatan kualitas hidup perempuan, ini dimaksudkan untuk meningktkan kedudukan dan peranan perempuan sebagai individu, sebagai bagian dari keluarga dan sebagai mahluk sosial, terutama dibidang-bidang hukum, ekonomi, politik dan sosial budaya.
b. Program pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan, program ini bertujuan untuk mengembangkan dan menserasikan berbagai kebijakan pembangunan, pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan.
c. Program peningkatan peran masyarakat dan kemampuan kelembagaan pengarusutamaan jender, hal ini dimaksudkan agar meningkatkan peran aktif masyarakat dalam upaya pemberdayaan perempuan, disamping peran institusi-institusi pemerintah
dan lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan, terutama organisasi perempuan dalam melakukan pengarusutamaan jender dalam setiap tahap dan proses pembangunan.
Secara kuantitatif potensi perempuan baik di dalam skala nasional maupun lokal merupakan potensi yang cukup besar akan tetapi potensi tersebut belum dapat berperan secara setara. Hal ini terlihat dalam keterwakilan perempuan dalam berbagai lembaga baik eksekutif maupun legislatif yang relatif masih kecil.
Guna meningkatkan peran dan pengarusutamaan jender dalam berbagai kebijakan pembangunan, maka potensi perempuan harus diberdayakan sehingga mampu berperan sebagai mitra sejajar dengan kaum pria serta pemberian Kesempatan yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk menentukan atau mengambil keputusan terhadap berbagai kebijakan yang terkait dengan pengembangan potensi perempuan.
Untuk itu maka kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan kaum perempuan harus terus ditingkatkan serta dukungan dari semua pihak baik pemerintah maupun lembaga atau organisasi yang terkait dengan pengembangan kapasitas kaum perempuan.
Pustaka
Demokratisasi Potensi Gender Dalam Pemberdayaan Perempuan Dan Masyarakat Oleh : Eka Dahlan Uar dalam buku Nasionalisme kaum pinggiran: dari Maluku tentang Maluku untuk Indonesia diedit oleh Fahmi Salatalohy,Rio Pelu
8/24/2013
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar