mempunyai ciri khas tersendiri yang diwujudkan melalui alat bambu dengan berbagai perubahan wujud fisik dan estetika musiknya.
Perkembangan musik angklung dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Masa Prasejarah
Pada masa ini masyarakat Jawa Barat mempunyai kepercayaan animisme. Masyarakat melakukan upacara-upacara penyembahan terhadap roh nenek moyang dan upacara kepercayaan terhadap binatang totem. Masa ini sudah berlangsung sejak abad Sebelum Masehi sampai tahun-tahun awal Masehi dimulai. Tentu raja ekspresi musik angklung pada masa ini tidak seperti yang dikenal sekarang. Namun, alat bambu sebagai cikal bakal alat yang digunakan dalam musik angklung sudah diekspresikan. Penggunaan kayu-kayuan termasuk bahan bambu dimanfaatkan sebagai media komunikasi terhadap roh-roh nenek moyang dalam berbagai upacara-upacara penyembahan.
Dalam praktik yang sangat sederhana, bambu dimanfaatkan sebagai salah saw media pendukung dalam upacara-upacara penyembahan. Pukulan-pukulan bambu taut sangat minimalis atau hanya saw dua kali pukulan menjadi inspirasi dan cikal bakal pengolahan musik bambu yang ada sekarang. Pada masa ini ekspresi musik masih dilakukan secara primitif. Masyarakat belum mengoptimalkan penggunaan bahan bambu sebagai alat musik. Hal terpenting yang ada pada saat itu, yaitu bagaimana mereka menemukan bunyi sebagai alat komunikasi. Perbedaan berbagai ukuran sebagai sebuah sistem tangga nada, belum terwujud sebagai buah pikir yang berbudaya tinggi. Secara terbatas masyarakat menggunakan alat musik bambu sebagai kegiatan yang spontan dan pemanfaatannya tidak dipertimbangkan secara mendalam.
b. Masa Pengaruh Hindu
Pengaruh kebudayaan Hindu yang berasal dari India terjadi di daerah-daerah di Jawa Barat pada awal abad masehi sampai akhir abad ke- 15. Struktur masyarakat Jawa Barat yang agraris sangat mudah untuk mempercayai mitos dewa-dewa sebagai penjaga keseimbangan alam. Misalnya, setiap mendapat keberuntungan, masyarakat Jawa Barat mewujudkan rasa syukurnya dengan melakukan upacara-upacara penyembahan. Musik angklung menjadi media pengiring dalam upacara penyembahan tersebut.
Salah satu upacara penyembahan, yaitu Upacara Seren Tahun yang dilakukan setiap selesai panen dan dilanjutkan dengan kegiatan menyimpan padi ke dalam lumbung. Upacara ini hanya berlangsung di daerah yang benar-benar mempunyai pola kehidupan agraris. Masyarakatnya bercocok tanam (terutama padi) dan memiliki kepercayaan terhadap Dewi Padi sebagai Dewi yang memberikan kesuburan serta memberkati masyarakat melalui panen yang berlimpah. Kesenian angklung Dodog Lojor menjadi musik pengiring dalam kegiatan Upacara Seren Tahun.
Angklung Dodog tojor yang berkembang di daerah Badui menggunakan empat buah alat musik angklung serta dua buah dog dog berselonjor yang berukuran besar dan kecil. Inti;dari upacara ini, yaitu perwujudan rasa syukur terhadap Dewi Padi dengan mengiring padi berarak menuju tempat penyimpanan padi. Arak-arakan inilah yang disertai dengan kesenian angklung. Selain itu, pada upacara ini masyarakat mempersembahkan berbagai hasil pertanian lainnya kepada pemimpin adat untuk dinikmati secara bersama-sama dalam suasana kekeluargaan.
Masyarakat melibatkan kesenian angklung dalam upacara penyembahan terhadap dewa-dewi yang mereka percayai sebagai pemberi berkah dengan berbagai tata cara upacara yang Hinduistik. Upacara ini masih dilestarikan, khususnya di daerah Sunda pedalaman, yaitu Suku Badui.
c. Masa Pengaruh Islam
Perkembangan agama Islam di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat terjadi sekitar abad ke-13 sampai abad ke-18. Musik angklung digunakan sebagai media dakwah dalam mengembangkan ajaran Islam. Penyajian angklung sebagai media dakwah, lebih memperhatikan estetika agar mullah dipahami masyarakat. Musik angklung digunakan sebagai media dakwah dengan muatan agama yang demokratis dan struktur penyajian yang dapat melibatkan masyarakatnya secara langsung, baik sebagai pemain maupun penonton.
Angklung dalam masa pengaruh Islam, disajikan sebagai sebuah pertunjukan yang berisi petuah-petuah keagamaan. Struktur lagu lebih dominan dibandingkan dengan iringan musik angklungnya. Syair-syair lagu yang dinyanyikan biasanya diambil dari al-Quran dan kitab-kitab Islam. Lagu-lagu yang dinyanyikan kadang-kadang berbahasa Arab atau diterjemahkan dalam bahasa Sunda. Angklung pada masa ini kadang-kadang dipadu dengan berbagai jenis intrumen bernuansa religius. Sampai sekarang musik angklung di daerah tertentu masih dipertahankan, misalnya angklung Badeng di daerah Malangbong, Garut.
d. Masa Pengaruh Cina
Salah satu ciri khas budaya Cina yang terkenal, yaitu Barongsay. Jenis kesenian yang diekspresikan melalui bentuk ular naga ini, konon sudah melebur pada salah satu pertunjukan angklung Badui di daerah Cijulang, Ciamis. Pengaruh Gina pada kesenian angklung terlihat pada struktur cerita tentang mitos Dewi Sri yang disajikan secara teaterikal. Pementasan teater yang diiringi kesenian angklung disajikan dengan cerita lahirnya Dewi Sri dan hubungannya dengan Dewa Anta yang berbentuk ular naga. Penyajiannya menggunakan kostum Barongsay dan kostum binatang.
Angklung Badui menggunakan seperangkat alat angklung Sunda yang bertangga nada salendro ditambah beberapa dog dog dan genta untuk mengiringi pertunjukan teater. Biasanya para pertain yang memerankan binatang-binatang menari dalam keadaan tidak sadarkan diri. Perpaduan budaya lokal dan Cina terlihat dari estetika pertunjukan yang digunakan. Gaya kostum Barongsay, penggunaan genta, dan berbagai alat perunggu menjadi salah satu bukti adanya pengaruh budaya Cina. Pengaruh budaya Cina dalam musik angklung berlangsung sampai sekarang. Hal ini terbukti dengan banyaknya seniman cina yang berkolaborasi dalam pertunjukan musik angklung.
e. Masa Pengaruh Barat
Masa pengaruh Barat (akhir abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-20) diperkirakan terjadi ketika Indonesia mulai mengalami revolusi fisik pada masa penjajahan. Hal ini dimulai pada masa pemerintahan Spanyol hingga penguasaan Indonesia oleh pemerintah Belanda. Di bidang musik terjadi penetrasi kebudayaan Eropa dengan struktur musik yang bertangga nada diatonis ke dalam kebudayaan lokal.
Terlepas dari upaya misi-misi keagamaan Eropa dengan media musik, pengalaman musikal lebih memberikan makna yang lain terhadap persepsi masyarakat terhadap musik. Hal yang lebih mendalam, yaitu struktur tangga nada diatonis yang di-transfer dan bahkan diwujudkan dalam alat-alat tradisional di Indonesia. Pengaruh ini menjadi inspirasi dalam mewujudkan angklung yang baru dan sama sekali berbeda dengan wujud asli dari angklung sebelumnya. Bentuknya menjadi lebih praktis tanpa asesoris eksotis seperti angklung tradisi. Jumlahnya semakin banyak karena disesuaikan dengan sistem duabelas nada dalam berbagai oktav. Selain itu, dibuat juga angklung Akommpanyemen sebagai adaptasi instrumen pengiring akord-akord dasar untuk musik Barat. Pengaruh Banat menambah ragam kesenian angklung dan lagu-lagu Nusantara yang bisa disajikan oleh alat musik angklung. Seniman-seniman musik angklung secara tidak langsung mendapat pengalaman pendidikan musik dari Barat. Pengaruh ini tetap dipadu dengan kebudayaan lokal yang dilestarikan sebagai budaya tradisional di Jawa Barat, angklung Udjo dan berbagai perkumpulan musik angklung diatonis menjadi bukti adanya pengaruh budaya Barat tempo dulu yang sangat kental.
f. Masa Kemerdekaan Indonesia
Lagu-lagu patriotik berlatar belakang kebangsaan menjadi pengaruh tersendiri bagi musik angklung. Musik angklung menjadi pengiring lagu-lagu nasional yang memberi semangat bagi perjuangan. Rekonstruksi perjuangan dapat dipresentasikan pada kegiatan-kegiatan pendidikan dengan menggunakan iringan musik angklung. Musik angklung menjadi media pendidikan untuk mempelajari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, musik angklung biasanya dipertunjukkan dalam pembukaan peristiwa-peristiwa penting, seperti perundingan-perundingan.
kesenian dalam berbagai kegiatan internasional membuka peluang untuk mengembangkan kesenian dalam lingkup internasional, misalnya musik angklung. Format kesenian angklung mengalami perubahan, baik dari aspek instrumentasi maupun cara pertunjukan. Musik angklung tradisi tidak hanya dipertunjukkan di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Misalnya, dalam acara menyambut tamu kenegaraan atau dalam acara kepariwisataan. Musik angklung diatonis menjadi musik dunia yang dapat mengiringi lagu-lagu bertangga nada diatonis.
Gaya musik Barat menjadi trend pengolahan musik angklung pada kelompok-kelompok angklung di Indonesia. Musik angklung juga mampu menyajikan selera yang Baru yang dilakukan melalui pengemasan komposisi musik dan cara pertunjukan yang lebih modern. Angklung tidak hanya dipertunjukan pada suasana yang agung, tetapi pada event-event kepariwisataan. Pengaruh genre musik-musik modern terlihat dari cara pengolahan komposisi musik angklung Indonesia.
Pustaka
Seni dan Budaya Oleh Harry Sulastianto, dkk.
7/28/2013
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar