1/13/2013

Jehan Sadat (Selalu Mencintai Sadad)

Jehan Sadat, seorang perempuan yang energik, dinamis, berani dan punya keinginan untuk meningkatkan hak-hak wanita Mesir. Orang terpesona dan setengah kaget atas keberaniannya pada saat suaminya akan disumpah menjadi presiden. Jehan melangkah melewati ambang pintu terlebih dulu. Hal ini dinilai sangat radikal di sebuah negara Islam, tempat para wanita diharuskan berjalan di belakang suami. Dengan nada membela istrinya, Sadat mengatakan bahwa ia dan istrinya ingin membuka babak baru bagi hak asasi perempuan Mesir.


Hatinya terluka dan jiwanya terguncang ketika 6 Oktober 1981 berondongan peluru menembus dada suaminya. Orang besar Mesir itu gugur setelah dua tahun sebelumnya berhasil mengambil kembali Gurun Sinai dari tangan Israel melalui perundingan. Dialah Anwar Sadat yang gugur di tangan prajuritnya sendiri. Pemenang Nobel Perdamaian itu telah membuat terobosan besar ketika menandatangani perjanjian damai dengan Israel yang diwakili Menachem Begin di Camp David AS. Dan perempuan yang hatinya terluka serta jiwanya terguncang itu adalah Jehan Sadat yang telah mendampingi Sadat dalam suka dan duka. Ia menjatuhkan diri di dada Sadat yang berseragam lengkap dan terbaring tenang. Air matanya bercucuran, orang besar itu, suaminya telah pergi dan tidak akan kembali.

Jehan kemudian menemui Hosni Mubarak yang saat itu masih wakil presiden. Kepada Mubarak, Jehan mengatakan bahwa kini ia presiden. "Anwar telah pergi dan tidak akan kembali. Ini semua kehendak Allah. Tapi Mesir masih ada dan kini dalam keadaan ba-haya. Kini saatnya Anda memimpin kami." Itu merupakan ketabahan luar biasa dari istri seorang pemimpin yang pada waktu itu born. bisa meledak sewaktu-waktu, atau senjata memuntahkan peluru dari orang yang mungkin selama ini bagaikan saudara. Namun rehan tidak ingin menangis terus. Ia sudah belajar menjadi kuat ketika suaminya dikucilkan Liga Arab.

Camp David (1979) menjadi titik balik bagi Mesir yang selama berpuluh tahun berhadapan langsung dengan Israel di kancah perang. Anwar Sadat, Menachem Begin, dan Jimmy Carter menandatangani perjanjian perdamaian. Gurun Sinai yang sejak perang besar tahun 1967 diduduki Israel, dikembalikan kepada Mesir. Dunia, terutama Barat, memuji Sadat dan Akademi Swedia memberinya hadiah Nobel Perdamaian. Tentu saja bersama Begin. Namun Liga Arab mengecam keras dan menuduh Sadat egois, karena demi Gurun Sinai ia melupakan saudara Arabnya yang lain. Presiden Suriah Hafez Assad dan Pemimpin Libia Moammar Khadafy, dua pemimpin Arab yang paling marah kepada Presiden Mesir itu. Beberapa tahun para pemimpin Liga Arab mengucilkan Sadat.

Memang beberapa tahun kemudian mereka akur kembali dan Sadat diterima Liga Arab. Namun di dalam negeri, apa yang dilakukan Sadat tetap tidak bisa diterima oleh sebagian orang, terutama kaum garis keras yang memiliki prinsip penghancuran Israel hanya jalan satu-satunya perdamaian di Timur Tengah. Dan di Mesir pada waktu itu anggota kelompok ini bergentayangan. Ada juga yang menyamar sebagai anggota militer, seperti prajurit yang menembak Sadat ketika ia menyaksikan parade untuk memperingati kemenangan bersejarah Mesir dalam satu pertempuran dengan Israel tahun 1973. Pada saat menyaksikan parade kemenangan di kursi kehormatan itulah ia ditembak.

Menurut Helena Cobban di The Middle East, rentetan tembakan yang mengakhiri hidup Presiden Mesir itu telah membuka era baru. Menurut Cobban, yang menjadi kekuatan utama di Timur Tengah yang berkonfrontasi dengan Israel dan Barat bukan lagi nasionalisme sekuler, melainkan Islam. Mungkin saja Cobban benar, bukankah pasta Reza Pahlevi Iran juga menjadi "anti Barat". Juga Saddam Hussein di Irak. Konon sekelompok orang yang menembak Sadat dipimpin Letnan Satu Khalid Ahmad Syawqi al-Istambuli, ada hubungan dengan kelompok militan yang dikenal dengan nama Al-Jihad. Tidak ada yang menduga kalau seorang anggota militer berani nekad seperti itu.

"Mesir kehilangan putra terbaiknya," kata Wakil Presiden Hosni Mubarak, yang kemudian menggantikannya memimpin negeri piramida itu. Ia berjanji akan melanjutkan kebijaksanaan Sadat, tetap damai dengan Israel. Anwar Sadat sesungguhnya pernah bergandeng tangan dengan kalangan Islam fundamentalis untuk menghadapi kaum komunis. Pada tahun 1971, Sadat mendukung para mahasiswa muslim di kampus-kampus seluruh Mesir untuk "melibas" mahasiswa yang berhaluan Sadat tidak menyadari kelompok mahasiswa yang ia dukung itu kemudian berkembang sendiri dan membentuk "Al-Jam'iyahtul Islamiyalz" yang enam tahun kemudian sebagian besar anggotanya menentang perdamaian yang ditempuh Sadat dalam menghadapi Israel. Sadat melihat perkembangan yang mengkhawatirkan. Maka pada September 1981, satu bulan sebelum tewas tertembak, ia mengeluarkan dekrit membubarkan "Jam'iyah". Siapa tahu sejak saat itu timbul dendam yang membara. Dendam itu benar-benar memuncak ketika tahun 1977 ia pergi ke Jerussalem dan pada 1979 menandatangani Perjanjian Camp David. Oposisi terhadap Sadat terus berkembang, bahkan dari sayap "Ikliwanul Muslintin" yang paling moderat pun memusuhinya.

Berbagai media juga mengkritik keras kebijaksanaan perdamaian Sadat. A1-I'tisham, misalnya, mengatakan bahwa perdamaian Camp David itu hanyalah sebuah ilusi. Apa yang dilakukan Sadat tersebut diibaratkan sebagai "persekutuan" dengan musuh Allah, musuh Rasul, musuh kaum beriman, musuh kemanusiaan dan keadilan. "Dari lubuk hati kami, kami yakin perdamaian itu palsu. Itu merupakan invasi tersembunyi kauin Yahudi terhadap masyarakat Mesir yang merupakan kubu pertahanan Islam. Mesir adalah garis terakhir pertahanan menghadapi tiga musuh Islam: penjajah Barat, kaum zionis dan komunis," tulis Al-Utisham.

Pada tingkat tertentu, oposan Islam bertemu dengan oposan sekuler dan kemudian membentuk semacam koalisi anti Sadat. Hal inilah yang membuat Sadat sangat marah dan menghadapi mereka dengan tangan besi. Ia juga pernah "merangkul" kaum muslimin garis keras itu dengan memberlakukan hukum Islam dan menghukum orang Islam yang meninggalkan agamanya. Namun upaya itu tidak terlalu berhasil, karena mendapat tekanan opini dunia.

Setelah Anwar Sadat tiada, ia tetap mendapat kritikan pedas sehingga membuat Jehan semakin menderita. Suami yang amat dicintai telah ditembak mati dan masih dihujat pula. Bagaimanapun ia seorang perempuan yang juga memiliki batas-batas kesabaran. Jehan yang sepanjang hidupnya mengabdi dengan penuh cinta kepada Sadat, ternyata tidak sepenuhnya diterima sebagian rakyat Mesir, termasuk anak tirinya sendiri, Camelia Sadat yang tampaknya memang kurang suka kepada istri kedua ayahnya itu. "Aku tidak akan pernah melupakan senyumnya ketika ia menaiki mimbar kehorma tan diiringi tepuk tangan hadirin. Sesaat ia melirik ke belakang. Kulihat mukanya agak merah terkena panas matahari. 'Ah, senyumnya itu,' bisik kawanku, Dr. Zaenab El-Sobky, seorang anggota parlemen. Ia benar, senyumnya itu penuh arti. Senyum dari seorang yang sangat mencintai negerinya. Senyum seorang laki-laki yang lebih mencintai keluarganya daripada dirinya sendiri," tulis Jehan dalam otobiografinya (Tempo, 19/9/1987).

Karena sering mendapat rongrongan dari orang-orang yang membenci suaminya, Jehan sering pergi ke Amerika. Apalagi setelah ia mengajar di sebuah uniyersitas di negeri Paman Sam itu. Waktu itu hidupnya selalu berada di dua tempat, Washington dan Kairo. Jehan Sadat, perempuan bertubuh besar, bermata hijau dan rambut hitam itu, selama 38 tahun mendampingi suaminya dengan setia sejak ia jatuh cinta kepada seorang duda opsir Angkatan Darat yang bernama Anwar Sadat. Jehan juga seorang perempuan yang tabah, termasuk ketika melihat suaminya berlumuran darah, ditembak oleh orangorang yang tidak menyukainya. Jehan dengan sabar menerima sindiran Camelia Sadat, anak tirinya tentang asal-usulnya.

Memang agak menyakitkan ketika Camelia mengatakan bahwa darah yang mengalir di tubuh Jehan bermacam-macam, sebanyak bangsa yang membentuk Amerika. Ibunya, Gladys Mary Cotrell, berdarah campuran Inggris, Mesir dan Turki. Sementara Safwat Raouf, ayahnya adalah orang Mesir berdarah Turki. Menurut cerita orang, mereka bertemu ketika Safwat tugas di Fakultas Kedokteran di Sheffiled, Inggris. Gladys guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah. Konon Jehan mewarisi kesetiaan seorang istri dari ibunya. Jehan memang sangat dekat dengan Gladys, warga negara Inggris yang kemudian ikut suaminya tinggal di Kairu. Meskipun Gladys tetap memeluk agamanya, ia sangat toleran. Ia memelihara napas Islam di dalam keluarganya. Gladys sangat memerhatikan pendidikan Islam bagi anak-anaknya. Ia ikut berpuasa pada bulan Ramadan.

Tampaknya Jehan adalah seorang ibu negara yang tidak sepenuhnya disukai. Hal itu sangat ia rasakan setelah Sadat tiada. Mungkinkah karena ia bukan asli Mesir, a tau karena penganth dari ketidaksukaan sebagian orang kepada suaminya yang mau berdamai dengan Israel?
Ketidaksukaan itu ia rasakan ketika ia mencari suaminya di rumah sakit setelah ditembak. "Ketika memasuki rumah sakit, tidak seorang pun menegurku. Dokter dan perawat yang menyambut hanya berdiri memandang. Padahal hampir semua dokter dan perawat rumah sakit itu sudah lama kukenal," tulis Jehan di dalam otobiografinya.

Sebenamya, bisa jadi kediaman itu justru karena kesedihan mendalam yang melingkupi para dokter dan perawat itu. Atau memang mereka tidak sampai hati menegur Jehan yang mereka lihat sangat berduka. Atau bisa jadi ada sementara orang yang terpengaruh anak tirinya yang memang tidak menyukai Jehan.

Namun Jehan sangat mencintai Mesir. Baginya, gugurnya Anwar adalah kehendak Allah. Anwar Sadat boleh tiada, tetapi Mesir harus hidup tents. Maka ia segera menghampiri Hosni Mubarak yang pada waktu itu sebagai wakil presiden. "Saya kira Presiden Sadat sudah berpulang, tugas Andalah sekarang memimpin negeri dan rakyat Mesir", kata Jehan kepada Mubarak. Kata-kata itu sempat membuat Mubarak sangat terpana, sehingga yang keluar dari mulutnya hanya dua kalimat pendek, "Jangan begitu Nyonya, jangan begitu." Barangkali Mubarak agak terganggu juga dengan kata-kata itu, mengingat Anwar Sadat masih terbaring di dekat mereka. Kendatipun kemudian, mau tidak mau, Hosni Mubarak menggantikan Sadat karena dialah Wakil Presiden Mesir saat itu.
Jehan Sadat adalah seorang perempuan yang energik, dinarruis, berani dan punya keinginan untuk meningkatkan hak-hak wanita di Mesir. Orang terpesona dan setengah kaget atas keberaniannya pada saat suaminya akan disumpah menjadi presiden. Jehan melangkah melewati ambang pinto terlebih dulu. Hal ini dinilai sangat radikal di sebuah negara Islam, tempat para wanita diharuskan berjalan di belakang suaminya. Dengan nada membela istrinya, Sadat mengatakan bahwa ia dan istrinya ingin membuka babak baru bagi hak asasi perempuan di Mesir.

Sejak menjadi ibu negara pada 17 Oktober 1970, Jehan Sadat semakin sibuk, terutama dalam kegiatan sosial untuk membantu rakyat kecil yang tinggal di Lembah Nil. Jehan juga aktif di Bulan Sabit Merah (Palang Merah) tiga tahun sejak sebelum menjadi ibu negara sampai tiga tahun kemudian setelah menjadi ibu negara. Jehan juga seorang akademikus yang memperoleh Master of Art bidang sastra Arab pada 1980 dari Universitas Kairo.

Empat tahun setelah kematian suaminya, Jehan lebih banyak tinggal di Washington, mengajar di American University dan University of South Carolina tentang wanita di negeri Islam. Jika ia mengunjungi Mesir, ia selalu berziarah ke makam Anwar Sadat. Di matanya selalu terbayang percikan darah Sadat yang membasahi lantai kayu mimbar. "Aku selalu teringat jerit dan tangis ketakutan cucu perempuanku di tengah desingan peluru yang menghantam tembok penghalang di sampingku," ujarnya.

Pustaka
Kisah 40 Perempuan yang Mengubah Dunia Oleh Achmad Munif

Tidak ada komentar :

Posting Komentar